Dia diam, membiarkan kesunyian menelannya. Bola matanya mengintip dari balik almari jati tua, tak satupun ucapan mereka yang dilewatkannya. Namun seberapa lama pun dia mendengar, dia tidak mengerti. Di luar sana ibunya merintih.
Hari itu mendung tak ada tanda-tanda penguasa siang menampakkan dirinya, sama dengan hari-hari sebelumnya, awan mengusai siang. Terkadang tetes-tetes air membasahi tiap jengkal kota. Hari itu juga, sama seperti hari sebelumnya Monna duduk menunggu jemputan kesayangannya datang yang lebih tepat satu-satunya. BUS DALAM KOTA, bunyi tulisan besar melekat di badan bus. Bus itu tua dan kecil sebagian tubuhnya telah dimakan waktu, namun bus itu masih kuat menempuh jarak jauh, ia memiliki satu buah pintu di tengah dan memiliki 30 kursi penumpang. Hanya dua macam penumpang di bus tua itu. Para orang tua yang membayar ongkos bus seenak perut dan pengamen jalanan yang menumpang tanpa membayar sepersen pun. Hal ini cukup berat setiap harinya untuk si pengemudi dan penarik, mereka harus berkerja dua kali lipat lebih keras dibandingkan bus ber-ac lainnya untuk mengumpulkan sentoran, namun seberapa kerasnya mereka memeras keringat senyuman selalu menghias wajah mereka. Mereka berdua terlalu mencintai perkerjaan mereka.
Terdengar derit kecil saat pintu bus terbuka, mengundang Monna naik dalam bus tua itu. Bunyi ‘bam’ pelan saat pintu bus tertutup kembali. Monna menatap sekelilingnya mencari kursi favoritnya, dua dari belakang dekat jendela. Di sana sepi dan ia bisa melihat bangunan besar bergerak pelan disampingnya. Tapi kali ini, Monna tidak melihat kursi kosong seperti biasanya, seorang lelaki memakai seragam sama seperti Monna, duduk dengan earphone melekat ditelingnya. Ia menatap jendela, tatapannya kosong. Oh . Bus mulai berjalan, serampangan Monna memilih kursi.
“Apa dia temanmu?” tanya pria disampingnya tiba-tiba.
“Ehm..apa yang anda maksud dia, pak?” tanya Monna sopan.
“Ya....., mengesankan bukan”
Dahi Monna mengerut tidak mengerti, namun setelah melihat sekeliling ia mengerti.
“ehm ya” katanya ragu-ragu namun cepat-cepat ia menambahkan” Apa ini pertama kalinya bapak?”
“Pertama sejak hal itu!! Kau tahu aku hampir tidak percaya saat dia naik, aku bahkan menanyainya berulang kali, ya...... mungkin saja dia salah naik bus kau tahu sendiri kan?”
Mata Monna melirik kebelakang, tepatnya ke laki-laki berkulit coklat itu. Earphonenya tetap melekat di telinganya, matanya menatap kaca bus yang mengilap seperti telah dilap berkali-kali. Mulutnya bergerak tak berarti, seperti menggumam sesuatu. Monna berbalik menatap pria disampingnya. Dia kurus sama dengan temannya yang mengemudi bus di depan, punggungnya bungkuk sehingga dia terlihat lebih pendek. Pria itu memakai baju biru lusuh oleh keringat dan pudar disana-sini, dia memakai celana hitam kedodoran dan seutas tali yang mengikat celananya tetap di pinggang. Namun dia sangat ramah pada setiap penumpang. Tangan Monna merogoh saku dadanya mengambil tiga lembar uang kertas dan 1 koin emas, meski dia seorang pelajar selalu membayar penuh. Walaupun mereka berdua bersikukuh memberi tumpangan gratis pada Monna tapi ia menampiknya dengan lembut. Dia bukan pengamen jalanan dan nenek-nenek tua.
“ Ah kau tak perlu.... kau jauh memerlukannya bukan?!” kata pria itu ketika Monna menyodorkan uang terakhirnya.
“.... kalau begitu biarkan aku membayar setengahnya saja” bujuknya
“Tidak-tidak..... rumahmu masih jauh dan kau butuh itu untuk angkot, hari ini kau gratis tapi besok kau boleh bayar, bagaimana?”
“Ah.. baiklah, terimah kasih pak Agung...”
“Kau tak perlu sungkan-sungkan” jawab pria itu yang meninggalkan Monna sendiri di kursinya, dan melanjutkan pekerjaannya.
BUS mulai berjalan cepat melewati gedung-gedung tinggi pencakar langit, tampak semua orang berlalu lalang. Monna terdiam, menunggu bus mengantarnya hingga sampai tujuan.